Burden Sharing BI: Antara Solusi
Fiskal dan Risiko “Cetak Uang Terselubung”
Oleh Rachmad Rofik (20yes experienced trader and
programmer platform Meta Trader)
Kebijakan moneter dan fiskal Indonesia kembali memasuki
wilayah abu-abu. Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan mengumumkan skema
burden sharing untuk mendukung program Asta Cita pemerintahan Presiden
Prabowo Subianto. Dukungan ini diwujudkan melalui pembelian Surat Berharga
Negara (SBN) di pasar sekunder serta penempatan dana pemerintah di bank Himbara
untuk pembiayaan perumahan rakyat dan koperasi desa.
Secara politis, langkah ini diklaim sebagai bentuk sinergi
fiskal-moneter. Namun dari perspektif ekonomi makro, pertanyaan besar muncul:
apakah ini kebijakan yang sehat ataukah sekadar bentuk lain dari monetisasi utang alias cetak uang
terselubung?
Dilema Ekonomi:
Likuiditas vs Stabilitas
Dalam teori moneter, bank sentral yang membeli surat utang
pemerintah sebenarnya sedang “menciptakan uang baru”. Meski tidak ada mesin
cetak yang berputar, injeksi likuiditas ke sistem perbankan tetap terjadi.
Konsekuensinya, ada tambahan permintaan agregat yang tidak diimbangi penciptaan
barang dan jasa.
BI membantah keras tudingan ini, menegaskan pembelian hanya
dilakukan di pasar sekunder dan penempatan kas pemerintah bersifat terbatas.
Namun secara praktis, garis pembeda antara pembelian
primer dan sekunder tipis di
mata investor. Likuiditas tetap masuk, risiko inflasi tetap mengintai, dan
kredibilitas BI sebagai otoritas independen bisa dipertanyakan.
Risiko Jangka Pendek
dan Panjang
- Inflasi dan Nilai Tukar
Likuiditas baru bisa menstimulasi konsumsi dan investasi. Tetapi, jika pasokan tidak merespons secepat itu, inflasi inti akan merambat naik. Di sisi lain, rupiah berpotensi tertekan jika pasar mengendus adanya ketergantungan fiskal pada bank sentral. - Pasar Obligasi dan Arus Modal
Kehadiran BI di pasar sekunder memang menahan yield SBN. Namun, investor asing bisa melihatnya sebagai sinyal risiko fiskal. Dampaknya, premi risiko naik, yield jangka panjang melebar, dan arus modal berbalik keluar. - Kredibilitas Institusional
BI selama ini dihormati karena komitmennya menjaga inflasi. Jika burden sharing berlangsung tanpa batas kuantitatif dan tanpa sunset clause, reputasi independensi bisa tergerus. Sekali kredibilitas goyah, biaya pemulihannya jauh lebih besar.
Solusi: Jalan Tengah
yang Rasional
1. Guardrails yang
Tegas
Pemerintah dan BI harus menetapkan plafon kuantitatif:
berapa besar pembelian SBN per tahun, berapa saldo kas pemerintah yang boleh
ditempatkan di bank Himbara. Plafon ini harus diumumkan ke publik agar pasar
melihat adanya disiplin fiskal-moneter.
2. Sunset Clause dan
Evaluasi Berkala
Skema burden sharing harus bersifat sementara.
Misalnya 12–18 bulan dengan evaluasi kuartalan. Begitu inflasi inti melewati
ambang tertentu atau likuiditas perbankan meluap, mekanisme harus otomatis
dihentikan.
3. Transparansi Data
Rilis bulanan yang menampilkan volume pembelian SBN, biaya
bunga yang ditanggung bersama, serta arus kas pemerintah di bank Himbara akan
meningkatkan kepercayaan pasar. Transparansi adalah vaksin terbaik terhadap
stigma “cetak uang”.
4. Sterilisasi dan
Komunikasi BI
BI perlu mensterilisasi likuiditas berlebih lewat SRBI,
reverse repo, atau term deposit. Selain itu, komunikasi kebijakan harus jelas:
target inflasi tetap prioritas, sementara burden sharing hanya instrumen
sementara.
5. Efisiensi Fiskal
Kementerian Keuangan mesti memastikan dana murah benar-benar
masuk ke sektor produktif: perumahan rakyat dan koperasi. Jangan sampai
mengalir ke spekulasi aset. Realokasi anggaran dari belanja yang kurang
produktif ke sektor ini akan memperkuat dampak tanpa harus terlalu bergantung
pada BI.
Kesimpulan: Menjaga
Keseimbangan Halus
Langkah BI dan Kemenkeu dalam burden sharing tidak
serta-merta bisa disamakan dengan “cetak uang” secara legal. Namun, dampak
ekonominya tetap menambah likuiditas. Di sinilah letak paradoksnya: satu sisi
dibutuhkan untuk mendukung program pro-rakyat, sisi lain berpotensi merongrong
stabilitas jangka panjang.
Jalan tengah yang rasional adalah kebijakan terukur, transparan, dan bersyarat. Jika guardrails
jelas, sunset clause diberlakukan, dan komunikasi kebijakan konsisten, maka burden
sharing bisa menjadi solusi kreatif di tengah tekanan fiskal. Tanpa itu, ia
berisiko menjadi awal dari erosi kredibilitas moneter dan jebakan inflasi.
Ringkasan inti (angka
penting)
- Nilai
pembelian SBN oleh BI di pasar sekunder yang dilaporkan: ~Rp200 triliun. ReutersInilah.com
- Produk
Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia 2024: Rp22.139.0 triliun. Badan Pusat Statistik Indonesia
- Broad
money (M2) Juli 2025: Rp9.569,7
triliun (≈ Rp9.570 T). MacroMicroSamuel
- Inflasi
tahunan (CPI) Agustus 2025: 2.31%
yoy; BI policy rate (7-day reverse repo) Agustus 2025: 5.00%. Trading EconomicsReuters
Perhitungan dasar
(digit-by-digit)
- Persentase
pembelian terhadap PDB:
- PDB
= 22.139,0 T; pembelian = 200,0 T.
- 200,0
÷ 22.139,0 = 0,0090338317 →
×100 = 0,903% dari PDB.
(≈0.90% dari PDB). Badan Pusat Statistik Indonesia
- Persentase
pembelian terhadap M2:
- M2
≈ 9.569,7 T; pembelian = 200,0 T.
- 200,0
÷ 9.569,7 = 0,0208992967 →
×100 = 2,0899% dari M2.
(≈2.09% dari M2). MacroMicro
Intuisi: suntikan
likuiditas bersih setara ~2,1% dari seluruh broad money — bukan angka sepele
untuk operasi moneter jangka pendek.
Model simple — asumsi
metodologi
Saya pakai pendekatan kuantitas uang sederhana dan analisis
skenario operasi sterilisasi BI:
- Asumsi
teknis:
- M2
Juli 2025 = 9.569,7 T (baseline). MacroMicro
- M2
yoy baseline (sebelum suntikan tambahan) ≈ 6.5% (mid-2025). Samuel
- Suntikan
Rp200T dimasukkan sebagai one-off
netto ke M2 kecuali BI mensterilisasi.
- Hubungan
kasar: perubahan laju pertumbuhan M2 (poin persentase) dapat menerjemah
ke perubahan inflasi jangka pendek dalam kisaran yang tergantung output
gap & kecepatan peredaran uang (velocity). Saya berikan rentang
konservatif berdasar literatur kebijakan makro (efek tidak 1:1).
- Nominal
GDP growth (estimasi) ≈ real growth 5% + inflasi ~2.3% → ≈ 7.3% (pendekatan untuk menghitung tekanan permintaan). Sumber
real growth 2024 ≈ 5.0% BPS. Badan Pusat Statistik IndonesiaTrading Economics
Tiga skenario
operasional & proyeksi efek terhadap M2 / inflasi
Perhitungan tambahan
M2 (one-off):
- Suntikan
= 200 T → sebagai % M2
= 2.09% (lihat di atas).
Skenario A —
Sterilisasi penuh (BI serap 100%)
- BI
menggunakan SRBI / reverse repo / deposito BI senilai 200 T → ΔM2 netto = 0.
- Dampak
inflasi ≈ nol tambahan secara
langsung; risiko hanya reputasional/ekspektasi jika komunikasi buruk. (BI
perlu tunjukkan operasi steril penuh). Samuel
Skenario B —
Sterilisasi parsial (50% serap)
- Netto
ke M2 = 200 T × 50% = 100 T.
- Sebagai
p.p. dari M2 = 100 ÷ 9.569,7 = 1.045% poin M2 tambahan.
- Jika
M2 yoy baseline = 6.5% →
jadi ~7.55% (6.50 + 1.05).
- Perkiraan
pengaruh inflasi jangka pendek (konservatif): +0.2 — +0.6 p.p. pada CPI tahunan, tergantung kecepatan
penyerapan kapasitas produksi (output gap).
Skenario C — Tanpa
sterilisasi (BI tidak menyerap)
- Netto
ke M2 = 200 T → +2.09% p.p. ke laju M2.
- M2
yoy = 6.5% → jadi ~8.6%.
- Perkiraan
pengaruh inflasi jangka pendek: +0.4
— +1.0 p.p. pada CPI tahunan (rentang karena pengaruh ekspektasi dan
impor/valas).
- Risiko
tambahan: kenaikan ekspektasi inflasi →
biaya riil utang naik, dan premi risiko SBN naik → tekanan pada yield 10Y jangka menengah.
(yield 10Y saat ini ~6.40%). Trading EconomicsSamuel
Catatan penting: angka-angka inflasi di atas adalah perkiraan berdasarkan mekanika dasar
kuantitas uang + empirika cross-country; hubungan aktual dipengaruhi oleh
sterilization speed, struktur permintaan (apakah dana langsung ke kredit
produktif atau konsumsi/asset), dan sentimen pasar.
Dampak pasar obligasi
& valuta (mekanisme transmisi)
- Pasar SBN: jika BI aktif menyokong
pembelian di sekunder, yield jangka pendek tertahan; namun persepsi
monetisasi dapat menaikkan premi risiko jangka menengah → outflow asing (data menunjukkan penurunan kepemilikan asing
belakangan). Jika asing jual agresif, BI harus menahan via FX
reserves/operasi pasar. Inilah.comReuters
- Nilai tukar: ekspektasi inflasi
dan persepsi independensi BI dapat melemahkan rupiah; BI telah menyatakan
intervensi valas bila perlu. Risiko: jika rupiah melemah >1–2% cepat,
impor menambah tekanan inflasi. Reuters+1
- Kredit & alokasi: jika dana
diarahkan efektif ke perumahan produktif/UMKM → multiplier positif. Jika mengalir ke
spekulasi properti →
aset bubble risk & NPL jangka menengah.
Rekomendasi kebijakan
kuantitatif (guardrails dan triggers)
Guardrails (harus
diumumkan bersama)
- Plafon kuantitatif: Maksimum
pembelian oleh BI di sekunder untuk 2025 = Rp200–300 T (sudah terpakai Rp200T; plafon mencegah eskalasi).
Sampaikan batas per bulan (mis. maks
Rp30–40T/bulan sebagai backstop). Reuters
- Sunset clause: Program berlaku 12 bulan, otomatis berakhir
kecuali diperpanjang lewat rapat koordinasi terpublikasi.
- Sterilization rule: BI wajib
mensterilisasi ≥50% pembelian
dalam 3 bulan pertama bila M2 yoy melampaui +2 p.p. dari baseline (mis. baseline 6.5% → trigger 8.5%). Samuel
- Keamanan alokasi fiskal:
Penempatan dana ke Himbara (2%) harus disertai ring-fencing &
audit—penyaluran ke koperasi/perumahan berbasis hasil due diligence
& skema performance-based.
Early-warning
thresholds (indikator & ambang)
- Inflasi inti (core) > 3.5% yoy selama 2 bulan
berturut-turut →
hentikan net pembelian & percepat sterilisasi. Trading Economics
- M2 yoy > 9% (atau melonjak >2 p.p. dari baseline 6.5%) → sterilisasi penuh. Samuel
- Net asing SBN: net outflow > Rp50T dalam 2 minggu → lakukan komunikasi pasar +
intervensi FX. Inilah.com
- Yield 10Y ↑ > 150
bps dari level 6.4% dalam 1 bulan tanpa fundamental baru → evaluasi mekanisme
market-backstop. Trading Economics
Instrumen operasional
BI (pile-of-tools)
- Sterilisasi: SRBI (Sertifikat Bank
Indonesia), reverse repo, deposito BI berjangka.
- Targeted operations: provisi
likuiditas bersyarat (TLF) untuk bank yang menyalurkan ke program
perumahan/koperasi (syarat ketat monitoring).
- Forward guidance: komunikasi bahwa
target inflasi tetap prioritas, dan burden sharing bersifat
sementara.
- Intervensi FX: jika volatilitas
IDR > ambang (mis. intraday ±1.5–2%). Reuters
Rekomendasi untuk
Kemenkeu & implementasi fiskal
- Performance-based disbursement:
penyaluran kredit ke koperasi/perumahan lewat pipeline bankable; inspeksi
& audit berkala.
- Crowd-in swasta: skema guarantee +
first loss tranche kecil untuk menarik bank swasta dan investor ritel (SBN
ritel tematik perumahan).
- Prioritaskan proyek cepat serap-kerja:
agar dampak permintaan mendorong output riil, bukan sekadar konsumsi
impor.
Komunikasi publik
(template ringkas — 5 poin)
- Nyatakan
angka: total pembelian SBN Rp200T; plafon program; horizon 12 bulan. Reuters
- Jelaskan
sterilization rule & mekanisme teknis (SRBI, reverse repo). Samuel
- Luncurkan
dashboard publik (bulanan): pembelian BI per tenor, saldo kas pemerintah
di Himbara, M2 yoy, inflasi inti, dan penyaluran kredit ke
koperasi/perumahan.
- Janji
evaluasi kuartalan dengan parameter trigger (inflasi inti, M2, yield,
aliran asing).
- Komitmen:
target inflasi tetap prioritas; program bersifat sementara.
Ringkasan numerik
& interpretasi
- Suntikan
Rp200T = ~0.90% PDB dan ~2.09% dari M2. Itu cukup besar
untuk memberi tekanan pada M2 jika tidak
disterilisasi. Badan Pusat Statistik IndonesiaMacroMicro
- Jika
BI mensterilisasi penuh → dampak nominal pada
inflasi kecil; jika parsial/no
steril → potensi
kenaikan inflasi jangka pendek ~0.2–1.0
p.p. (rentang bergantung efek multiplikator & ekspektasi).
- Risiko
utama bukan hanya angka likuiditas: ekspektasi
pasar terhadap independensi BI menentukan apakah yield & aliran
modal akan bereaksi keras. ReutersInilah.com
Penutup — Kesimpulan
singkat
Burden sharing bisa efektif jika dipadukan dengan sterilisasi aktif, plafon yang jelas,
sunset clause, dan transparansi. Tanpa guardrails itu, suntikan Rp200T —
walau hanya di sekunder — berpotensi menaikkan M2 cukup untuk memicu tekanan
inflasi dan menimbulkan kekhawatiran pasar tentang monetisasi utang.